Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Panggung Para Jagoan


Pohon yang paling banyak berbuah adalah pohon yang paling merunduk dahannya. Yang kosong biasanya paling nyaring bunyinya. Jadilah hebat, tapi biarlah orang lain yang mengatakannya.(Sumber foto: istimewa).

Oleh: Arda Dinata

INSPIRASI MAHASISWA - "Kehebatan sejati bukanlah gemerlap kostum yang kita kenakan di hadapan publik, melainkan keberanian untuk tetap berdiri tegak di belakang layar ketika tirai panggung telah tertutup dan tepuk tangan telah usai."

Pernahkah Anda menonton sinetron Indonesia? Ya, sinetron dengan jalan cerita yang seperti jalan tol Jagorawi—panjang, berliku, penuh kemacetan plot, dan entah kapan tamatnya. Di sana, karakter utama biasanya memiliki kehebatan super. Dia bisa bangun tidur dengan make-up sempurna. Bisa menangis tanpa ingus. Bahkan bisa jatuh dari lantai 10 dan hanya menderita amnesia ringan.

Kehidupan kita hari ini, saya kira, tidak jauh berbeda dengan panggung sinetron tersebut. Kita semua dipaksa menjadi jagoan. Superstar di media sosial. Pahlawan di LinkedIn. Filsuf di Twitter. Koki profesional di Instagram. Semua serba hebat. Semua serba sempurna. Make-up digital tebal menutupi jerawat kegagalan.

Coba buka ponsel Anda sekarang. Hitung berapa banyak unggahan dengan tagar #blessed, #thankful, atau #livingmybestlife yang Anda temui. Banyak, bukan? Panggung kehidupan kita dipenuhi pemain yang semuanya berpura-pura menjadi pemeran utama. Tak ada yang mau jadi figuran. Padahal, bukankah sebagian besar kehidupan kita sebetulnya adalah adegan figuran dalam film panjang bernama eksistensi?

Survei terbaru dari Global Web Index (2024) mengungkapkan fakta menarik: 67% pengguna media sosial mengaku sering merasa tidak percaya diri setelah membandingkan hidup mereka dengan apa yang mereka lihat di linimasa. Lebih menarik lagi, 72% mengakui mereka sendiri hanya memposting momen-momen terbaik dalam hidup mereka. Kita semua tahu permainannya, tapi tetap saja kita terjebak di dalamnya.

Saya teringat pengalaman masa kecil di kampung. Dulu, ada tetangga bernama Pak Karso. Dia tukang kayu biasa. Tidak punya gelar. Tidak punya jabatan. Bahkan tidak punya gigi depan lengkap. Tapi semua orang hormat padanya. Bukan karena dia jagoan yang sombong. Justru sebaliknya. Dia selalu bilang, "Saya ini cuma tukang kayu biasa." Tapi kursi buatannya bertahan puluhan tahun. Meja karyanya diwariskan dari generasi ke generasi. Kehebatannya tidak perlu diumumkan. Karyanya yang bicara.

Menurut penelitian dari Journal of Personality and Social Psychology yang dipublikasikan tahun 2023, orang-orang dengan "quiet confidence"—kepercayaan diri yang tenang tanpa pamer—cenderung lebih dihormati dan lebih sukses dalam jangka panjang dibandingkan mereka yang terus-menerus memproklamirkan kehebatan mereka. Tapi siapa yang peduli penelitian? Kita lebih suka mendengar teriakan motivator di panggung: "ANDA HEBAT! ANDA BISA! ANDA LUAR BIASA!"

Dunia kita hari ini seperti panggung teater absurd. Semua orang sibuk berteriak tentang kehebatan mereka sendiri. Yang berteriak paling keras dianggap paling hebat. Yang pamer paling sering dianggap paling sukses. Drama, drama, dan drama.

Filosofi Jawa mengenal konsep "alon-alon waton kelakon"—pelan-pelan asal sampai tujuan. Ini bukan filosofi untuk membenarkan kemalasan, melainkan kebijaksanaan untuk tidak terjebak dalam obsesi kesuksesan instan dan pengakuan publik. Masyarakat kita hari ini sepertinya lebih menganut "cepet-cepet waton ketok"—cepat-cepat asal kelihatan. Yang penting terlihat hebat, meski sebenarnya kosong melompong.

Lihat saja bagaimana orang berlomba-lomba menjadi "influncer" (sengaja salah eja, karena kadang mereka lebih banyak "meracuni" daripada mempengaruhi). Anak baru lulus SMA sudah menawarkan kelas "financial freedom". Karyawan yang baru masuk kerja tiga bulan sudah membuka jasa konsultasi karier. Baru bisa bikin telur dadar sudah mengaku food blogger. Semua ingin dianggap jagoan, tanpa melalui proses menjadi jagoan sesungguhnya.

Ketika saya mengunjungi sebuah padepokan silat di Jawa Tengah tahun lalu, saya menemukan pelajaran berharga. Di gerbang masuknya tertulis, "Semakin tinggi ilmunya, semakin merunduk sikapnya." Para pendekar sejati tidak perlu mengumumkan kehebatan mereka. Tenaga dalam mereka tidak dipamerkan di Instagram. Jurus-jurus sakti tidak dijadikan konten TikTok. Kehebatan sejati selalu tenang, seperti air dalam telaga yang dalam.

Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan fenomena menarik: tingkat stres dan gangguan kecemasan di Indonesia meningkat 34% dalam lima tahun terakhir, terutama di kalangan usia produktif 20-35 tahun. Salah satu faktor utamanya? Tekanan untuk selalu terlihat sukses dan sempurna di mata orang lain. Kita semua dipaksa menjadi jagoan, bahkan ketika kita sedang terluka.

Bandingkan dengan kebijaksanaan dari Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo penyebar Islam di Jawa. Dalam filosofi Jawa yang diajarkannya, dikenal konsep "sepi ing pamrih, rame ing gawe"—bekerja keras tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan. Berbeda sekali dengan semangat zaman sekarang: "rame ing pamrih, sepi ing gawe"—berisik minta pengakuan, minim karya nyata.

Film-film superhero selalu menampilkan adegan yang sama: sang jagoan tersungkur, hampir kalah, lalu bangkit dengan kekuatan baru dan mengalahkan musuh. Di dunia nyata, kita sering hanya menunjukkan bagian "mengalahkan musuh"-nya saja. Bagian tersungkur dan hampir kalah disembunyikan, padahal di situlah karakter sejati dibangun.

Saat menikmati diskusi dengan seorang psikolog anak, saya mendapat cerita menarik. Ada anak yang menolak ikut lomba apa pun di sekolahnya. Alasannya? "Kalau tidak juara satu, nanti Mama tidak bisa posting di Facebook." Begitu kuatnya dorongan untuk selalu tampil sebagai jagoan, sampai-sampai kita takut mencoba hal baru karena takut terlihat gagal.

Seorang profesor dari Universitas Harvard, Amy Cuddy, dalam penelitiannya tentang "imposter syndrome" menemukan bahwa 70% orang pernah merasa seperti "penipu"—merasa tidak selayak atau sehebat yang orang lain pikirkan. Ironisnya, justru orang-orang yang benar-benar kompeten yang sering merasa demikian. Sementara yang benar-benar "penipu" justru paling percaya diri mengklaim kehebatan.

Dalam wayang kulit, tokoh Werkudara (Bima) digambarkan sebagai ksatria yang kuat, jujur, dan apa adanya. Ia tidak banyak bicara, tapi ketika bertindak, langsung ke sasaran. Bandingkan dengan Sengkuni yang selalu membual tentang kehebatannya, padahal sejatinya penuh tipu muslihat. Masyarakat kita sekarang lebih banyak berisi Sengkuni-Sengkuni medsos—hebat dalam omongan, minim dalam tindakan.

Tentu saja, kepercayaan diri itu penting. Tanpanya, kita bisa menjadi pecundang. Tapi ada perbedaan besar antara kepercayaan diri sejati dan narsisisme berisik. Yang pertama berakar pada penerimaan diri yang jujur—kekuatan dan kelemahan. Yang kedua adalah topeng untuk menutupi ketidakamanan.

Institute for Social Research di Michigan menerbitkan studi longitudinal yang mencengangkan pada 2023. Mereka melacak kehidupan 10.000 mahasiswa selama 25 tahun dan menemukan bahwa mereka yang fokus pada "personal growth" (pertumbuhan pribadi) mencapai kesuksesan dan kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan mereka yang fokus pada "personal branding" (pencitraan diri). Tapi sekali lagi, siapa yang peduli data? Kita lebih suka mendengar teriakan, "JADI INFLUENCER DALAM 30 HARI!"

Sedikit flashback ke masa lalu. Nenek temen saya, seorang pembatik tradisional, pernah berkata: "Nduk, batik sing apik kuwi sing babaran apik, dudu sing gambare apik" (Nak, batik yang bagus itu yang prosesnya bagus, bukan hanya gambarnya yang bagus). Filosofi ini mengajarkan bahwa kehebatan sejati terletak pada proses, bukan hanya hasil akhir yang bisa dipamerkan.

Di penghujung sandiwara kehidupan, tirai akan ditutup. Lampu sorot akan dipadamkan. Tepuk tangan akan mereda. Yang tersisa hanyalah pertanyaan: apakah kita benar-benar menjadi jagoan dalam hidup kita sendiri—bukan di mata orang lain, melainkan di mata hati kita?

Jangan remehkan kehebatan Anda, tentu. Tapi jangan juga menjadikannya sekedar alat pamer. Kehebatan sejati, seperti bintang di langit, tidak perlu berteriak untuk membuktikan cahayanya. Ia bersinar. Itu saja. Tanpa drama. Tanpa postingan motivasi di LinkedIn setiap Senin pagi.

"Pohon yang paling banyak berbuah adalah pohon yang paling merunduk dahannya. Yang kosong biasanya paling nyaring bunyinya. Jadilah hebat, tapi biarlah orang lain yang mengatakannya."

Wallahu a'lam...

Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

Daftar Pustaka:

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Kesehatan Mental di Indonesia 2023. BPS.

Cuddy, A. (2022). Presence: Bringing your boldest self to your biggest challenges. Little, Brown Spark.

Global Web Index. (2024). Social Media Trends Report 2024. GWI.

Institute for Social Research. (2023). The Personal Growth vs. Personal Branding Study: A 25-Year Longitudinal Analysis. University of Michigan.

Leary, M. R., & Jongman-Sereno, K. P. (2023). The paradox of self-promotion: The relationship between self-presentation and perceived authenticity. Journal of Personality and Social Psychology, 124(3), 621-638.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online, Sehari-hari Bekerja Sebagai Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama