Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Panggung Gelar Digital

"Di era digital, gelar akademik seperti tiket masuk bioskop. Dibutuhkan untuk masuk, tapi tidak menjamin filmnya bagus atau kursinya nyaman. Yang menentukan pengalaman menonton adalah apa yang Anda lakukan setelah di dalam." (Sumber foto: istimewa).

Oleh: Arda Dinata

INSPIRASI MAHASISWA"Mahasiswa Indonesia lebih takut tidak lulus tepat waktu daripada tidak punya skill saat lulus. Padahal dunia kerja tidak bertanya 'berapa IPK Anda?' tapi 'apa yang bisa Anda lakukan untuk perusahaan ini?'"

Di sebuah negeri bernama Republik Kampus, terdapat ritual yang dilakukan setiap empat tahun sekali. Ritual bernama wisuda.

Para pesertanya berbaris rapi. Dengan toga hitam. Dengan selempang warna-warni. Dengan wajah berseri-seri.

Indah dipandang. Mengharukan untuk dikenang. Sempurna untuk media sosial.

Namun di balik kemegahan panggung itu, tersembunyi sebuah ironi yang menggelikan. Lebih dramatis dari sinetron Indonesia. Lebih tragis dari drama Korea.

Banyak yang lulus cum laude, tapi tak siap bekerja. Banyak yang fasih teori, tapi gagap praktik. Banyak yang mahir menghafal, tapi kikuk berinovasi.

Lucu, bukan?

Tapi begitulah kenyataannya.

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2024, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan universitas mencapai 6,8%. Lebih tinggi dari tingkat pengangguran lulusan SMK yang hanya 6,1%.

Sebuah angka yang membingungkan. Bukankah seharusnya semakin tinggi pendidikan, semakin rendah tingkat pengangguran?

Ternyata tidak. Karena dalam teater kehidupan nyata, ijazah hanyalah tiket masuk. Bukan jaminan untuk mendapatkan kursi VIP.

Saya teringat masa kuliah dulu. Ada teman yang begitu rajin kuliah. Catatan rapi. Tugas selalu tepat waktu. Tidak pernah absen. IPK nyaris sempurna.

Sekarang? Ia masih mencari pekerjaan yang "sesuai jurusan". Sudah dua tahun sejak wisuda.

Sementara itu, ada juga teman yang sering bolos kuliah. Tugasnya seringkali terlambat. IPK-nya pas-pasan. Tapi ia sibuk dengan proyek freelance, magang sana-sini, dan aktif di berbagai komunitas.

Hasilnya? Sekarang ia memiliki startup sendiri. Dengan 15 karyawan. Bahkan mempekerjakan beberapa teman yang dulu lebih pintar darinya di kelas.

Seperti plot twist dalam film thriller. Tidak terduga, tapi masuk akal jika direnungkan.

Riset dari LinkedIn Learning menunjukkan bahwa 89% rekruter menganggap keterampilan lunak (soft skills) sama pentingnya atau bahkan lebih penting daripada keterampilan teknis. Komunikasi, kreativitas, adaptabilitas, dan kemampuan bekerja dalam tim menjadi primadona.

Hal-hal yang tidak diajarkan dalam kurikulum formal. Yang tidak diukur dengan ujian tertulis. Yang tidak tercermin dalam transkrip nilai.

Kita telah salah fokus. Seperti penonton opera yang terpaku pada kostum, bukan pada cerita.

Dalam survey dari World Economic Forum tentang "Future of Jobs", 50% dari semua karyawan akan membutuhkan peningkatan keterampilan (reskilling) atau pembelajaran keterampilan baru (upskilling) pada tahun 2025.

Artinya, apa yang kita pelajari hari ini, mungkin sudah tidak relevan besok.

Pertanyaannya: apakah kampus kita mengajarkan cara belajar hal baru dengan cepat? Atau hanya mengajarkan cara mendapatkan nilai A dalam ujian?

Saya pernah menghadiri seminar karir di kampus bergengsi. Pembicara utamanya adalah CEO perusahaan teknologi terkemuka. Saat sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya: "Apa tips untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan Bapak?"

Jawabannya mengejutkan: "Tunjukkan pada saya portofolio proyek yang pernah Anda kerjakan. Saya tidak peduli dari kampus mana Anda berasal atau berapa IPK Anda."

Hening sejenak. Seperti adegan dramatis dalam teater saat penonton menahan napas.

Menurut jurnal Education & Skills Today, 64% mahasiswa menghabiskan lebih dari 20 jam per minggu untuk mengejar nilai akademik, sementara hanya 12% yang mengalokasikan waktu serupa untuk mengembangkan keterampilan praktis yang dibutuhkan industri.

Seperti aktor yang menghabiskan waktu berjam-jam merias wajah, tapi tidak berlatih dialog.

Dan paradoksnya, ketika lulus, mereka bingung mengapa tidak mendapatkan peran utama.

Tahun lalu, saya mengajar di sebuah universitas. Di hari pertama, saya bertanya: "Berapa banyak yang sudah punya usaha sampingan atau proyek freelance?"

Dari 45 mahasiswa, hanya 7 yang mengangkat tangan.

Padahal di era digital ini, peluang tidak pernah selebar sekarang. Dengan modal laptop dan koneksi internet, seorang mahasiswa bisa menjadi desainer grafis, content writer, programmer, digital marketer, atau pengajar online.

Data dari Upwork menunjukkan pertumbuhan pekerja lepas (freelance) di Indonesia mencapai 37% dalam tiga tahun terakhir. Lebih cepat dari pertumbuhan lapangan kerja konvensional yang hanya 5-7%.

Tapi masih banyak mahasiswa yang menunggu wisuda untuk mulai berkarya. Seperti menunggu lampu panggung padam sebelum mulai menari.

Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai sekarang?

Mungkin karena sistem pendidikan kita masih seperti pertunjukan wayang kulit tradisional. Kaku. Berpola. Dengan alur cerita yang sudah ditentukan dari awal.

Sementara dunia kerja sudah menjadi panggung improvisasi jazz. Dinamis. Spontan. Penuh kejutan.

Tidak heran banyak lulusan yang canggung ketika tiba-tiba dipaksa berimprovisasi.

Jadi, apa solusinya?

Mahasiswa perlu sadar bahwa gelar bukanlah tujuan. Hanya alat. Kampus bukanlah tujuan akhir. Hanya salah satu panggung dari banyak panggung kehidupan.

Dan kita semua perlu bertanya: Apakah sistem pendidikan kita sudah mempersiapkan generasi muda untuk dunia yang berubah cepat? Atau justru membuat mereka terjebak dalam ilusi keamanan gelar akademik?

Seperti penonton yang terpukau oleh pertunjukan sulap, kita terkadang lupa bahwa di dunia nyata, tidak ada trik ajaib. Hanya kerja keras, adaptasi, dan keberanian untuk terus belajar.

"Di era digital, gelar akademik seperti tiket masuk bioskop. Dibutuhkan untuk masuk, tapi tidak menjamin filmnya bagus atau kursinya nyaman. Yang menentukan pengalaman menonton adalah apa yang Anda lakukan setelah di dalam."

Arda Dinata, Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

***

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online, Sehari-hari Bekerja Sebagai Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama